Didirikan pada tahun 2011, Studio Jencquel merupakan butik studio desain yang mengambil lokasi di salah satu pusat seni dan kebudayaan Indonesia, Ubud. Maximilian Jencquel membangun studio ini menjadi sebuah tempat unik dengan memetik beberapa pengaruh budaya dari Eropa, Amerika Utara dan Selatan, dan Asia Tenggara. Fokusnya adalah untuk mempersatukan komposisi harmonis melalui arsitektur, furnitur, dan desain interior. “Dulu sebagai desainer muda di Prancis, Saya dilatih oleh, belajar dari, dan bekerja untuk berbagai desainer kenamaan seperti Andree Putman dan Christian Liaigre. Berpindah ke Bali, lalu bekerja dengan seniman dan pengrajin lokal telah memberikan perspektif yang baru dalam pekerjaan Saya,” cerita Maximilian.

“Berpindah ke Bali, lalu bekerja dengan seniman dan pengrajin lokal telah memberikan perspektif yang baru dalam pekerjaan saya”

Kemudian di tahun 2014, Ia membangun rumah tinggal pribadinya di Ubud, dan menamakannya Sebun Kedis, yang dalam bahasa Bali memiliki arti sarang burung. Lalu dua tahun kemudian dengan meningkatnya kebutuhan, ia memperluas rumahnya dengan memanfaatkan lahan di sebelah menjadi bangunan tambahan, menghasilkan dua rumah terpisah. Dua rumah kayu bergaya berpenampilan tradisional dibangun menggunakan struktur besi, membuat rumah ini dapat “bertengger” di pohon sama level dengan burung. Sebuah jembatan di kanopi menyambungkan kedua bangunan rumah. Sebun Kedis memiliki luas bangunan 270 m², sebuah hunian nyaman dengan area eksterior ekstra yang berdiri di tanah seluas 2400 m² yang merupakan taman tropikal rimbun.

“Ketika pertama kali sampai di Bali, pendirian, sifat, cara berpikir, dan pendekatan Saya sangat etnosentris, tertanam dari pendidikan dan pengalaman pekerjaan selama ini,” cerita Maximilian, “di Amerika Latin, Amrika Serikat, dan Eropa, Saya banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan. Sementara disini, pekerjaan Saya bersentuhan langsung dengan alam, asli dan membumi. Cara Saya belajar lama kelamaan meningkat menjadi sebuah perspektif baru dari hutan tropikal yang lebat.” Lanjutnya. Pendeketan alam tersebut terlihat dari desain dan material yang ia pilih dalam desainnya. Seperti banyak hasil proyek Studio Jencquel lainnya, hunian ini juga menggunakan kayu daur ulang, dan berbagai material lokal.

Jembatan kayu tua yang sudah tidak berfungsi dari Borneo dibongkar lalu dijadikan papan dan balok, yang kemudian dipakai untuk membangun rumah. Figura utama yang terlihat dari depan rumah merupakan sisa-sisa dari Joglo tua, bangunan petani tua yang ia temukan di pulau Jawa. Dibangun menjadi speerti loft, desain hunian ini meleburkan arsitektur Indonesia dengan cara hidup orang barat. Atrium tengah mengekspos strukur atap bergaya tradisional dengan ketinggian 9m ke atas. Dan sebuah teras sebesar 45m² seperti menongol keluar dari lembah. “Secara alamiah, Saya dihadapkan dengan cara melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya, dan keharusan bekerja dengan biaya yang tipis. Awalnya ini sangat mengganggu, namun akhirnya Saya tersadar bahwa tantangan tersebut membuat Saya berpikir di luar kotak.” Ungkap Jencquel mengenai pengaruh kepindahannya ke Bali beberapa tahun lalu.